Minggu, 20 Januari 2013

Permataku Bertemu Bidadari

Anjuran Menikah dalam al-Hadits


Suara tangis...

Kudengar suara tangis seseorang dari dalam. Aku yang saat itu sedang
menonton putaran siaran langsung sepak bola Liga Inggris, menjadi
tergerak juga untuk mencari dimana sumbernya berada. Aku bangkit dari
depan tv. Kuperiksa kamar utama yang menjadi tempat tidurku bersama
istri. Tidak ada. Langsung aku menuju ke kamar anak kami satu-
satunya, Permata. Benar saja, suara tangis itu berasal dari dalam
kamarnya. Suara isak tangisan Permata sepertinya ditahan-tahan supaya
tidak terlalu didengar oleh orang lain. Namun tetap saja dapat
didengar terutama olehku yang berada di ruang tv, yang tidak berada
jauh dari kamarnya.

"Salam'alaikum sayang…, sedang apa di dalam? Boleh Ayah masuk?"
kataku sambil mengetuk pelan pintu kamarnya.

Tiba-tiba, suara tangisannya menghilang.

"Sayang…, ini Ayah. Bolehkan Ayah masuk?"

Pintu-pun terbuka dengan Permata, anak semata wayangku, di depanku.
Wajahnya memerah dengan mata sembab dan berkaca-kaca. Rambutnya yang
hitam panjang sebahu tampak awut-awutan. Bajunya yang berwarna merah
jambu dengan gambar bunga-bunga kecil, basah oleh air mata dan
keringatnya.

"Loh kok…, kenapa putri Ayah menangis? Biasanya putri Ayah selalu
ceria. Ada apa gerangan? Boleh Ayah tahu ada apa?" kataku yang
langsung berjongkok di depan Permata sambil memegang bahunya dan
menyeka air matanya.

Belum lagi Permata menjawab pertanyaanku. Ia langsung saja menabrakku
dengan pelukannya, lalu menangis kembali dan berkata, "Ibu jahat,
Ayah. Ibu jahat!"

"Loh…, kenapa Ibu jahat? Masa sih, Ibu jahat sama Permata yang cantik
dan baik hati," kataku sambil mengangkat dan menggendongnya lalu
menuju ke tempat tidurnya. Kuletakkan ia di kasur dan aku duduk di
sampingnya. Ku elus-elus rambutnya yang halus seperti sutra.
Kupancarkan senyuman kepadanya untuk mencoba meredakan tangisannya.

Sedikit demi sedikit tangisannya mulai mereda dan akhirnya berhenti.
Wajah Permata memancarkan rasa sedih karena ia barusan dimarahi sama
Ibunya, yaitu istriku. Sebenarnya aku-pun agak heran juga, tidak
biasanya istriku marah terhadap anak semata wayangnya ini. Biasanya
ia sangat lembut dan penuh kasih sayang didalam mengurus Permata.

"Ayah… Ibu kok jahat sama Permata? Tadi Permata dimarahi sama Ibu.
Permata sedih, Ayah. Kenapa Ibu sampai memarahi Permata seperti tadi,
Ayah?" kata Permata sambil mau menangis kembali.

"Eee…, kok mau nangis lagi… Enggak apa-apa kok, Ibu tidak jahat dan
tidak marah sama Permata. Memangnya, kenapa Ibu sampai demikian sama
Permata?"

Permata diam sebentar. "Tadi Permata belum mengerjakan shalat lalu
ditegur sama Ibu. Namun, Permata belum juga mengerjakan shalat karena
Permata masih mau menyelesaikan PR Permata dulu, Ayah. Lalu Ibu
datang kembali dan menanyakan apakah Permata sudah shalat. Setelah Ibu
tahu bahwa Permata belum shalat juga, lalu Ibu memarahi Permata.
Permata hanya diam pas dimarahi sama Ibu. Setelah Ibu pergi, Permata
jadi sedih, mengapa Ibu yang biasanya baik sama Permata tapi kali ini
kok tidak. Permata jadi sangat sedih, Ayah."

"Ooo…, begitu. Nah, sekarang Permata sudah shalat belum?"

Permata mengangguk.

"Bagus…, itu baru namanya anak Ayah dan Ibu yang cantik dan pintar.
Permata tahu nggak, kenapa Ibu sampai marah sama Permata karena
Permata melalaikan shalat. Itu berarti…, Ibu sayang sama Permata. Ayah
dan Ibu memang sangat senang bila anak Ayah dan Ibu rajin didalam
mengerjakan shalat. Ayah dan Ibu tidak mau Permata masuk Neraka dan
disiksa sama Alloh Ta'ala, nanti di Akhirat. Permata tahu kan, bila ada
orang yang tidak mengerjakan shalat maka ia akan disiksa dan
dimasukkan oleh Alloh Ta'ala, ke dalam Neraka Jahannam selama-lamanya.
Iiiiihhh…, ngeri kan," kataku menggeliat dan memasang wajah takut
sambil bercanda.

Permata pun tersenyum.

"Ok…, sekarang Permata harus janji…, untuk tidak melalaikan shalat
lima waktu lagi, bagaimana?"

"Iya, Ayah. Permata janji tidak akan melalaikan shalat lagi," katanya
sambil memelukku.

Aku-pun memeluknya, mencium keningnya sambil berdo'a di dalam
hati, "Ya Alloh…, ampuni dosa-dosa kami, ampuni dosa-dosa kedua orang-
tua kami dan jadikanlah keturunan kami, anak-anak yang sholeh dan
sholehah yang ta'at kepada perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu.
Aamiin."

"Ayah…, Ayah…, kata Ibu Guru, di surga itu ada Bidadari ya?"

"Iya, benar."

"Apa Bidadari itu cantik, Ayah?"

"Sangat cantik. Bahkan kecantikannya tiada tara."

"Ayah…, apakah Permata kalau sudah besar nanti akan secantik
bidadari?"

Aku-pun tersenyum. "Iya…, kalau kamu besar nanti akan secantik
Bidadari. Karena kamu, bagi Ayah dan Ibu, adalah Bidadari yang
menghiasi rumah ini." Permata-pun tersenyum. Terlihat gigi-giginya
yang masih belum rapih. "Tapi Permata, kecantikan wajah itu tidaklah
penting, yang terpenting adalah kecantikan hati, disini…, dihati,"
kataku menambahkan sembari menunjuk ke dadanya.

"Iya, Ayah…"

"Sudah ya…, Ayah keluar dulu. Salam'alaikum sayang."

"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh, Ayah," kata Permata
sambil mencium tangan kananku.

Aku-pun keluar dari kamarnya.

Memang. Terkadang didalam rumah-tangga, apabila ada salah satu orang-
tua yang keras didalam mendidik anak-anaknya, maka harus ada orang-
tua yang bersikap lembut sebagai penyeimbangnya. Sehingga nantinya
tidak akan menimbulkan suasana rumah-tangga yang memanas, yang
berdampak akan adanya tekanan mental yang berlebihan pada anggota
keluarga. Kalau bisa, kedua orang-tua haruslah bersikap lembut
didalam mendidik anak-anaknya supaya tidak menurunkan sifat-sifat
kasar dan pemarah pada anak-anaknya nanti.

Di suatu Minggu pagi.

"Ayah…, Permata pamit dulu, ya. Ntar Permata kasih kabar kalau sudah
sampai di tempat piknik lewat Hand Phone Ibu, ya Bu ya…"

"Iya, iya…," kata istriku. "Aku pamit juga, ya Mas," sembari mencium
tangan kananku.

Kami-pun saling berangkulan dan memberi salam.

"Salam'alaikuuum, " kata mereka berdua.

Di hari Minggu ini, sekolahnya Permata mengadakan acara piknik
bersama. Mereka berencana pergi ke Bogor untuk mengunjungi Taman
Safari dan Kebun Raya Bogor. Seharusnya, Aku-pun harus pergi juga
bersama mereka. Namun, Aku sudah memiliki janji yang tidak boleh
kuingkari. Aku sudah janji untuk menemui klien-ku yang membutuhkan
pertolongan untuk dibela di ruang sidang pengadilan . Kasus yang akan
kutangani ini cukup serius. Kasus korupsi yang menelan uang
triliyunan rupiah. Tapi kali ini, aku harus membela si tertuduh
karena si tertuduh telah lebih dahulu meminta tolong kepadaku untuk
melawan pengacara-pengacara terkenal yang membela pemerintah.
Walaupun mungkin, orang yang akan kubela ini memang benar korupsi,
aku harus tetap membelanya sampai berhasil. Aku tahu, membela orang
yang salah adalah salah, tetapi aku tidak punya pilihan lain karena
aku juga sudah terikat sumpah jabatan sebagai pengacara dimana
seorang pengacara harus selalu siap untuk membela semua perkara orang-
orang yang meminta pertolongan jasanya. Itu kode etiknya.

Semua berkas yang telah kupersiapkan tadi malam telah kutaruh di
dalam mobil. Dengan Bismillah, aku-pun berangkat. Baru tiga puluh
menit berlalu saat aku masih menikmati kemacetan di jalan raya.
Telepon genggamku berbunyi.

"Selamat pagi, Pak. Apa benar Bapak yang bernama Muhammad Yusuf?"

"Benar, Pak. Ini dari siapa, ya?"

"Kami dari Kepolisian Satlantas Bogor, Pak. Kami mau mengabarkan
berita duka untuk Bapak."

"DEGGG!!!" Hatiku tersentak kaget. "Berita duka, Pak? Berita duka
apa?"

"Sekarang, di jalan tol menuju Bogor sedang terjadi kecelakaan
beruntun, Pak. Setelah kami melakukan pemeriksaan terhadap para
korban. Teridentifikasi bahwa ada keluarga Bapak, yaitu istri dan
anak Bapak yang menjadi korban kecelakaan. Sekarang mereka telah
dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati dan kini berada di ruang gawat
darurat. Mungkin cuma itu yang bisa kami kabarkan kepada Bapak."

"Innalillahi wa inna Ilaihi roji'un. Allohu Akbar! Istri dan anakku
dalam keadaan kritis. Kendaraan mereka mengalami kecelakaan. Ya
Alloh…, masih adakah harapan untuk mereka?" kataku membatin. Cepat
aku membanting setir untuk mencari jalan pintas menuju ke Rumah Sakit
Fatmawati. Tidak kuhiraukan lagi semua rambu-rambu lalu-lintas.
Kunyalakan lampu depan mobil yang menandakan aku dalam keadaan
terdesak waktu.

Sesampainya di Rumah Sakit Fatmawati. Setelah kutanya lewat bagian
informasi dimana pasien yang baru datang akibat kecelakaan di jalan
tol dengan nama istri dan anakku. Mereka menunjuk ke kamar darurat.
Kularikan kakiku dengan cepat untuk sampai disana. Setelah kubuka
pintu ruang darurat itu. Ramai sekali para dokter yang menangani para
korban. Namun, aku masih belum boleh masuk dan diminta untuk menunggu
di ruang tunggu.

"Ya Alloh… Selamatkah istri dan anakku? Bagaimanakah keadaan mereka?"
dalam keadaan tidak menentu, aku mencoba menghubungi para keluargaku
untuk memberitahu hal ini serta memberitahu pegawaiku untuk menemui
klienku dan memberitahu bahwa aku berhalangan datang kesana.

"Bapak Muhammad Yusuf!" panggil salah satu dokter.

"Ya, saya Dok."

"Mari ikuti saya, Pak."

Dibawanya aku ke suatu ruangan dokter. "Silakan duduk, Pak."

"Dokter, bagaimana istri dan anak saya? Bagaimana keadaannya?" kataku
cemas.

"Hhhmmm…" Dokter itu menarik dan menghembuskan nafasnya dalam-
dalam. "Pertama-tama. .., saya ingin mengucapkan ma'af kepada anda
karena kami tidak bisa menolong istri anda, sedangkan anak anda
sekarang dalam keadaan kritis. Kondisinya sekarang koma, banyak
bagian tubuhnya yang remuk dan patah. Untuk saat ini, kami belum bisa
berbuat apa-apa, hanya menunggu perkembangan selanjutnya dari anak
anda."

"Ya Alloh… Allohu Akbar! Inna lillahi wa inna Ilaihi roji'un. Telah
Engkau ambil istriku dari sisiku. Dan sekarang, anakku dalam keadaan
kritis."

Tidak bisa kubayangkan apa yang telah terjadi. Tubuhku sudah merasa
lemas semua. Keringat dingin bercucuran bak mata air. Mataku sedikit
berkunang-kunang. Tapi aku masih sadar. Dengan jalan yang bergontai,
aku menuju ke ruang jenazah. Fikiranku sedikit mengambang. Tapi aku
berusaha untuk terus sadar.

Sesampainya di kamar jenazah. Kulihat jasad-jasad kaku terbujur di
tempat tidur ditutupi kain berwarna putih. Suara tangisan dari
keluarga yang lain seperti mau membelah bumi. Kucari istriku. Pas di
pojok dinding, kulihat wajah yang tidak asing lagi. Wajah yang dulu
penuh cinta kepadaku. Wajah yang dulu selalu tersenyum kepadaku.
Wajah yang dulu penuh rasa sabar mendampingiku disaat susah. Wajah
yang dulu pernah bersamaku, berjanji menjalin ikatan suci di
pelaminan. Wajah itu, wajah istriku. Kudatangi perlahan jasadnya.
Kupandangi wajahnya. "Ohhh…, aku tak sanggup. Hatiku menjerit.
Tangisanku mau meledak. Tapi kalau saja aku tidak ingat sama Tuhan.
Aku pasti sudah bergabung dengan orang-orang yang meratapi kepergian
keluarganya itu. Aku berusaha tersenyum melihat wajah istriku. Kusapa
ia dengan salam. Kuucapkan do'a untuknya supaya ia mendapat ampunan
dari Alloh -subhanahu wa ta’ala- dan tempat yang layak di sisi-Nya. Setelah itu kukecup
keningnya. Kututupi wajahnya dengan kain putih. Sekali lagi. Ku
berdo'a untuknya.

Kembali aku menuju ke ruangan gawat darurat. Saat menuju kesana.
Datang serombongan keluargaku dan keluarga istriku. Mereka memelukku
satu persatu. Mencium pipi dan keningku dan berusaha menghiburku.
Sebagian dari keluargaku dan keluarga istriku menangis. Langsung saja
aku menunjukkan dimana jasad istriku berada. Sebagian kesana dan
sebagian lagi ikut denganku ke ruang gawat darurat, dimana Permata
berada.

Sampai sore hari, Permata belum boleh dikunjungi. Baru setelah malam
harinya, kami boleh masuk ke kamarnya dirawat.

"Permata sayang, ini Ayah. Permata sayang, ma'afkan Ayah, Nak.
Ma'afkan Ayah…" kataku lirih dan tidak dapat meneruskan kata-kata.
Yang kubisa hanya membelai lembut kepalanya yang sudah dicukur botak
karena ada jahitan di kepalanya.

Pas jam sepuluh malam.

"Aayaaahhh…" suara Permata pelan.

Kami yang sudah duduk di kursi langsung berhamburan menghampiri
Permata.

"Iya, sayang. Iya, sayang. Ini Ayah, sayang."

"Aayaaahhh… Sakiiitt."

"Iya sayang. Ayah tahu. Sabar ya… Insya Alloh, Alloh akan
menyembuhkan Permata."

"Aayaaahhh… Ibu mana…?"

Ya Alloh…, mendengar anakku bertanya tentang Ibunya, aku hanya bisa
diam.

"Aayaaahhh… Ibu mana…?"

"Ibu…, Ibu ada sayang..., tapi sekarang sedang tidak disini."

Permata diam. Matanya melirik kesana dan kemari seperti mencari
sesuatu. Sesaat, bibirnya bergerak tersenyum.

"Ayah… Bidadari itu sudah datang. Mereka melihat kepadaku, Ayah.
Wajahnya sangat cantik sekali, Ayah."

Aku dan keluargaku bingung. Kami tidak bisa melihat apa-apa.

"Sayang…, Bidadarinya mungkin datang untuk mendo'kan Permata. Mereka
sangat senang bila Permata sehat," kataku untuk menghiburnya.

"Tidak, Ayah. Kata mereka, mereka datang untuk menjemput Permata.
Mereka tersenyum pada Permata, Ayah."

"Ya Alloh…, apakah ini yang dinamakan ajal dengan malaikat mautnya
yang akan menjemput anakku? Kalau memang iya, tidak ada yang bisa aku
lakukan kecuali membantunya mengucapkan kalimat tauhid."

"Ayah…, Bidadarinya menghampiri Permata. Mereka menjulurkan
tangannya, Ayah."

"Permata. Bidadarinya mungkin mau mengajak Permata bermain-main ke
surga. Kalau begitu, Permata harus siap ya sayang. Mari Ayah bimbing,
coba Permata mengucapkan kalimat dua syahadat seperti yang telah Ayah
ajarkan. Ash-hadu an laa ilaaha illa Alloh… wa ash-hadu anna muhammad
rasulullah…"

"Ash-hadu an laa… ilaaha illa Alloh… wa ash-hadu anna… muhammad
rasulullah…" Dengan terbata-bata, akhirnya Permata dapat mengucapkan
kalimat tauhid dengan lancar.

Tanpa kalimat tauhid yang sempat terucap sebelum mati, sangat
mustahil seorang Muslim akan masuk surga. Kalimat tauhid merupakan
kuncinya pintu surga. Dan jika seseorang belum juga mengucapkan
kalimat tauhid sebelum ajalnya tiba, maka ia dipastikan mati dalam
keadaan kafir. Neraka-lah tempatnya. Na'udzubillahi min dzalik.

Perlahan…, mata Permata sedikit demi sedikit tertutup. Kulit tubuhnya
berangsur-angsur memucat, dingin. Sebuah senyum manis terukir di
bibirnya. Wajahnya ceria. Ia telah puas. Puas bertemu dengan Bidadari
yang sangat cantik. Bidadari yang selalu diimpikannya untuk bertemu.

Semua keluargaku menangis. Hanya aku yang tersenyum. Kuusap wajah
Permata dan mentelungkupkan tangannya ke dadanya seperti ia sedang
shalat. Kuciumi keningnya sekali lagi dan sambil berucap, "Tidurlah
dengan tenang, sayang. Temani Ibumu yang sudah menunggu disana.
Katakan pada Ibumu. Aku menyayangi kalian berdua. Dan semoga Alloh
-subhanahu wa ta’ala-, juga mengasihi kalian berdua. Selamat jalan sayang. Inna lillahi
wa inna ilaihi roji'un."

Kutarik nafas panjang. Semua keluargaku memelukku. Kemudian aku
keluar dari kamar itu. Kucari sebuah musholla. Lalu disana aku
mengadu kesedihan kepada-Nya.

Besoknya. Kukuburkan jenazah istri dan anakku berdampingan di sebuah
pemakaman khusus untuk keluarga. Saat itu, suasana begitu teduh
disana. Pepohonan yang rimbun menambah kesejukan disekitarnya.
Terdengar suara burung-burung berkicauan di atas pohon sana. Harumnya
bunga melati dan kamboja, menusuk hidung mewangikan sekitar.

Setelah acara pemakaman selesai. Kini yang tinggal disitu hanyalah
Aku. Kupandangi dua makam yang berisi orang yang sangat kusayangi.
Sekali lagi, kubacakan do'a-do'a untuk mereka berdua sambil melihat
ke sebidang ruang tanah lagi di samping makam mereka berdua…, dimana
itu nanti…, adalah tempatku kelak.
  
"Sesungguhnya Alloh akan memasukkan orang-orang yang beriman dan
beramal saleh ke dalam surga-surga yang sungai-sungai mengalir di
bawahnya. Sesungguhnya Alloh berbuat apa yang Dia kehendaki." (Q.S.
al-Hajj : 14).

"Di dalamnya ada bidadari yang menundukkan pandangannya yang belum
pernah disentuh manusia dan jin sebelumnya. Maka nikmat Tuhanmu yang
manakah yang kamu dustakan? Mereka laksana permata yaqut dan merjan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Tiadalah balasan
kebaikan itu melainkan kebaikan (pula). Maka nikmat Tuhanmu yang
manakah yang kamu dustakan?" (Q.S. ar-Rahmaan : 56 – 61).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar