Selasa, 18 Desember 2012

Hafsoh binti Umar -rodhiallohu anhu-


Hafsoh, Wanita Penjaga al-Qur'an



Beliau adalah Hafsoh putri dari Umar bin Khoththob -rodhiallohu anhu-, seorang sahabat agung yang melalui perantaraan beliaulah Islam memiliki wibawa. Hafsoh adalah seorang wanita yang masih muda dan berparas cantik, bertakwa dan termasuk wanita yang disegani.

Pada mulanya beliau dinikahi oleh salah seorang sahabat yang mulia bernama Khunais bin Khudzafah bin Qais as-Sahmi al-Quraisy. Yang pernah berhijrah dua kali, ikut dalam perang Badar dan perang Uhud. Namun setelah beliau wafat di negeri hijrah karena sakit yang beliau alami sewaktu perang Uhud begitu parah. Jadilah Hafsoh yang masih muda dan bertakwa karena umurnya baru 18 tahun hidup seorang diri dan menjada.

Umar -rodhiallohu anhu- benar-benar merasakan gelisah dengan keadaan putrinya yang menjanda dalam keadaan masih muda, dan beliau masih merasakan kesedihan dengan wafatnya menantunya yang dia adalah seorang muhajir dan mujahid. Beliau mulai merasakan kesedihan setiap kali masuk rumah melihat putrinya dalam keadaan berduka. Setelah berfikir panjang maka Umar -rodhiallohu anhu- berkesimpulan untuk mencarikan suami untuk putrinya sehingga ia dapat bergaul dengannya dan agar kebahagiaan yang telah hilang tatkala ia menjadi seorang istri selama kurang lebih enam bulan dapat kembali.

Akhirnya pilihan Umar -rodhiallohu anhu- jatuh pada Abu Bakar ash-Shidiq -rodhiallohu anhu-, orang yang paling dicintai oleh Rosululloh -sholallohu ‘alaihi wasallam-, karena Abu Bakar -rodhiallohu anhu- dengan sifat tenggang rasa dan kelembutannya dapat diharapkan membimbing Hafsoh yang mewarisi watak bapaknya yang bersemangat tinggi dan berwatak tegas. Maka segeralah Umar -rodhiallohu anhu- menemui Abu Bakar -rodhiallohu anhu- dan menceritakan perihal Hafsoh beserta ujian yang menimpa dirinya yakni berstatus janda. Sedangkan ash-Shidiq -rodhiallohu anhu- memperhatikan dengan rasa iba dan belas kasihan.

Kemudian barulah Umar -rodhiallohu anhu- menawari Abu Bakar  -rodhiallohu anhu- agar mau memperistri putrinya. Dalam hatinya dia tidak ragu bahwa Abu Bakar -rodhiallohu anhu- mau menerima seorang wanita yang masih muda dan bertakwa, putri dari seorang laki-laki yang dijadikan oleh Alloh -subhanahu wa ta'ala- penyebab untuk menguatkan Islam. Namun ternyata Abu Bakar -rodhiallohu anhu- tidak menjawab apa-apa. Maka berpalinglah Umar -rodhiallohu anhu- dengan membawa kekecewaan hatinya yang hampir-hampir dia tidak percaya (dengan sikap Abu Bakar -rodhiallohu anhu-). Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju Utsman bin Affan -rodhiallohu anhu- yang mana ketika itu istri beliau yang bernama Ruqoyyah binti Rosululloh -sholallohu ‘alaihi wasallam- telah wafat karena sakit yang dideritanya.

Umar -rodhiallohu anhu- menceritakan perihal putrinya kepada Utsman -rodhiallohu anhu- dan menawari beliau agar mau menikahi putrinya, namun beliau menjawab, “Aku belum ingin nikah hari ini.”

Semakin bertambahlah kesedihan Umar -rodhiallohu anhu- atas penolakan Utsman -rodhiallohu anhu- yang sebelumnya ditolak oleh Abu Bakar -rodhiallohu anhu-. Beliau merasa malu untuk bertemu dengan salah seorang dari kedua sahabatnya tersebut, padahal mereka berdua adalah kawan karibnya dan teman kepercayaannya yang paham betul tentang kedudukannya. Kemudian beliau menghadap Rosululloh -sholallohu ‘alaihi wasallam- dan mengadukan dan sikap Abu Bakar maupun Utsman. Maka tersenyumlah Rosululloh -sholallohu ‘alaihi wasallam- seraya berkata: “Hafsoh akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Utsman, sedangkan Utsman akan menikahi wanita yang lebih baik dari Hafsoh.”

Wajah Umar bin Khoththob -rodhiallohu anhu- berseri-seri karena kemuliaan yang agung ini yang mana belum terlintas dalam angan-angannya, hilanglah segala kesusahan di hatinya, maka dengan segera ia menyampaikan kabar gembira tersebut kepada setiap orang yang dicintainya, sedangkan Abu Bakar -rodhiallohu anhu- adalah orang yang pertama kali beliau temui. Maka tatkala Abu Bakar -rodhiallohu anhu- melihat Umar -rodhiallohu anhu- dalam keadaan gembira dan suka cita, maka beliau mengucapkan selamat kepada Umar -rodhiallohu anhu- dan meminta maaf kepada Umar -rodhiallohu anhu- sambil berkata, “Janganlah engkau marah kepadaku wahai Umar, karena aku telah mendengar Rosululloh -sholallohu ‘alaihi wasallam- menyebut-nyebut Hafsoh, hanya saja aku tidak ingin membuka rahasia Rosululloh -sholallohu ‘alaihi wasallam-, seandainya beliau menolak Hafsoh maka pastilah aku mau menikahinya.”

Maka Madinah mendapat barokah dengan indahnya pernikahan Nabi -sholallohu ‘alaihi wasallam- dengan Hafsoh binti Umar pada bulan Sya’ban tahun ke tiga hijriyah. Begitu pula barokah dari pernikahan Utsman bin Affan -rodhiallohu anhu- dengan Ummi Kultsum binti Muhammad -sholallohu ‘alaihi wasallam- pada bulan Jumadil Akhir tahun ke gita Hijriyah juga.

Begitulah, Hafsoh bergabung dengan istri-istri Rosululloh -sholallohu ‘alaihi wasallam- dan ummahatul mukminin yang suci. Di dalam rumah tangga nubuwwah ada istri beliau yakni Saudah dan Aisyah. Maka tatkala ada kecemburuan beliau mendekati Aisyah -rodhiallohu anha- karena dia lebih pantas dan lebih layak untuk cemburu.

Beliau senantiasa mendekati dan mengalah dengan Aisyah -rodhiallohu anha- mengikuti pesan bapaknya (Umar) yang berkata, “Betapa kerdilnya engkau bila disbanding dengan Aisyah dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila dibandingkan dengan ayahnya.”

Hafsoh dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi -sholallohu ‘alaihi wasallam-, maka turunlah ayat: “Jika kamu berdua bertaubat kepada Alloh, maka sesungguhnya hati kamu berdua lebih condong untuk menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Alloh adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril.” (al-Tahrim : 4)

Telah diriwayatkan bahwa Nabi -sholallohu ‘alaihi wasallam- pernah mentalak Hafsoh sekali tatkala ia di anggap menyusahkan Nabi, namun beliau rujuk kembali dengan perintah Jibril, yang mana Jibril berkata: “Dia adalah seorang wanita yang rajin puasa, rajin sholat dan dia adalah istrimu di surga.”

Hafsoh pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan penderitaan Nabi dengan menyebarkan rahasianya, namun akhirnya beliau menjadi tenang setelah Rosululloh -sholallohu ‘alaihi wasallam- memaafkan beliau. Kemudian Hafsoh hidup bersama Nabi -sholallohu ‘alaihi wasallam- dengan hubungan yang harmonis sebagai seorang istri bersama suaminya. Manakala Rosul yang mulia telah menghadap ar-Rafiqul A’la dan khalifah di pegang oleh Abu Bakar ash-Shidiq -rodhiallohu anhu-, maka Hafsoh lah yang dipercaya diantara ummahatul mukminin termasuk Aisyah di dalamnya, untuk menjaga mushaf al-Qur’an yang pertama.

Hafsoh mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan taat kepada Alloh -sholallohu ‘alaihi wasallam-, rajin puasa dan juga sholat, satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga keamanan undang-undang umat ini, dan kitabnya paling utama yang merupakan mukjizat yang abadi, sumber hukum yang lurus dan akidahnya yang utuh.

Ketika ayah beliau yang ketika itu adalah Amirul Mukminin merasakan dekatnya ajal setelah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah seorang Majusi pada bulan Dzulhijah tahun 13 hijriyah, maka Hafsoh adalah putri beliau yang mendapat wasiat yang beliau tinggalkan.

Hafsoh wafat pada masa Mu’awiyah bin Abu Sufyan -rodhiallohu anhu- setelah memberikan wasiat kepada saudaranya bernama Abdulloh dengan wasiat yang telah diwasiatkan oleh ayahnya. Semoga Alloh meridhoi beliau yang telah menjaga al-Qur’an al-Karim, dan beliau adalah wanita yang disebut Jibril sebagai Shawwamah dan Qawwamah (wanita yang rajin sholat dan puasa) dan beliau adalah istri Nabi -sholallohu ‘alaihi wasallam- di surga.

***

(disadur dari buku “Mereka adalah para Shhohabiyat”, karya Mahmud Mahdi al-Istanbul dan Mustofa Abu An Nash Asy-Syalabi) - Majalah Islami : Gerimis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar